Selasa, 30 Oktober 2018 0 Comments

Fitnah & Kemoceng #CoretanOo #5

"Fitnah dan Kemoceng"

Sumber: kliknclean.com

“Kyai, maafkanlah saya yang telah memfitnah pakkyai dan ajarkan saya sesuatu yang bisa mengh apuskan kesalahan saya ini.” Aku berusaha menjaga lisanku, tak ingin  sedikitpun menyebarkan kebohongan dan menyinggung perasaan kyai.

Kyai Husain terkekeh. “Apa kau serius?” Katanya.

Aku menganggukkan kepalaku dengan penuh keyakinan. “Saya serius, Kyai. Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya.”

Kyai Husain terdiam beberapa saat. Ia tampak berfikir. Aku sudah membayangkan sebuah doa yang akan diajarkan Kyai Husain kepadaku, yang jika aku membacanya beberapa kali maka Allah akan mengampuni dosa-dosaku. Aku juga membayangkan sebuah laku, atau tirakat, atau apa saja yang bisa menebus kesalahan dan menghapuskan dosa-dosaku. Beberapa jenak kemudian, Kyai Husain mengucapkan sesuatu yang benar-benar di luar perkiraanku. Di luar perkiraanku—

“Apakah kau punya sebuah kemoceng di rumahmu?” 

Aku benar-benar heran Kyai Husain justru menanyakan sesuatu yang tidak relevan untuk permintaanku tadi.

“Maaf, Kyai?” Aku berusaha memperjelas maksud kyai Husain.

Kyai Husain tertawa, seperti kyai Husain yang biasanya. Diujung tawanya, ia sedikit terbatuk. 

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menghampiriku, 

“Ya, temukanlah sebuah kemoceng di rumahmu,” katanya.

Tampaknya Kyai Husain benar-benar serius dengan permintaannya. 

“Ya, saya punya sebuah kemoceng di rumah, Kiai. Apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?”

Kyai Husain tersenyum.

“Besok pagi, berjalanlah dari rumahmu ke pondokku,” katanya,

“Berjalanlah sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap kali kau mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kau lalui.”

Aku hanya bisa mengangguk. Aku tak akan membantahnya. Barangkali maksud kyai Husain adalah agar aku merenungkan kesalahan-kesalahanku. Dan dengan menjatuhkan bulu-bulunya satu per satu, maka kesalahan-kesalahan itu akan gugur diterbangkan waktu…

“Kau akan belajar sesuatu darinya,” kata kyai Husain. Ada senyum yang sedikit terkembang di wajahku.

***

Keesokan harinya, aku menemui Kyai Husain dengan sebuah kemoceng yang sudah tak memiliki sehelai bulupun pada gagangnya. Aku segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada beliau.

“Ini, Kyai, bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari 5 km dari rumah saya ke pondok ini. Saya mengingat semua perkataan buruk saya tentang Kiai. 

Saya menghitung betapa luasnya fitnah-fitnah saya tentang Kiai yang sudah saya sebarkan kepada begitu banyak orang. Maafkan saya, kyai. Maafkan saya…”

Kyai Husain mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ada kehangatan yang aku rasakan dari raut mukanya. “Seperti aku katakana kemarin, aku sudah memaafkanmu. Barangkali kau hanya khilaf dan hanya mengetahui sedikit tentangku. Tetapi kau harus belajar seusatu…,” katanya.

Aku hanya terdiam mendengar perkataan Kyai Husain yang lembut, menyejukkan hatiku.

“Kini pulanglah…” kata Kyai Husain.

Aku baru saja akan segera beranjak untuk pamit dan mencium tangannya, tetapi Kiai Husain melanjutkan kalimatnya, “Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kau menuju pondokku tadi…”
Aku terkejut mendengarkan permintaan kyai Husain kali ini, apalagi mendengarkan “syarat” berikutnya: “Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yang tadi kaucabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang bisa kau kumpulkan.”

Aku terdiam. Aku tak mungkin menolak permintaan Kyai Husain.

“Kau akan mempelajari sesuatu dari semua ini,” tutup Kyai Husain.

***

Sepanjang perjalanan pulang, aku berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yang tadi kulepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan. Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja telah tertiup angin, atau menempel di sebuah kendaraan yang sedang menuju kota yang jauh, atau tersapu ke mana saja ke tempat yang kini tak mungkin aku ketahui.

Tapi aku harus menemukan mereka! Aku harus terus mencari ke setiap sudut jalanan, ke gang-gang sempit, ke mana saja!

Aku terus berjalan.

Setelah berjam-jam, aku berdiri di depan rumahku dengan pakaian yang dibasahi keringat. Nafasku berat. Tenggorokanku kering. Di tanganku, kugenggam lima helai bulu kemoceng yang berhasil kutemukan di sepanjang perjalanan.

Hari sudah menjelang petang. Dari ratusan yang kucabuti dan kujatuhkan dalam perjalanan pergi, hanya lima helai yang berhasil kutemukan dan kupungut lagi di perjalanan pulang. Ya, hanya lima helai. Lima helai.

***

Hari berikutnya aku menemui Kyai Husain dengan wajah yang murung. Aku menyerahkan lima helai bulu kemoceng itu pada Kyai Husain. “Ini, Kyai, hanya ini yang berhasil saya temukan.” Aku membuka genggaman tanganku dan menyodorkannya pada Kyai Husain.

Kyai Husain terkekeh. “Kini kau telah belajar sesuatu,”katanya.

Aku mengernyitkan dahiku. “Apa yang telah aku pelajari, Kyai?” Aku benar-benar tak mengerti.

“Tentang fitnah-fitnah itu,” jawab kyai Husain.

Tiba-tiba aku tersentak. Dadaku berdebar. Kepalaku mulai berkeringat.

“Bulu-bulu yang kaucabuti dan kaujatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah-fitnah yang kausebarkan. Meskipun kau benar-benar menyesali perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yang beterbangan entah kemana. Bulu-bulu itu adalah kata-katamu. Mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin bisa kau duga-duga, ke berbagai wilayah yang tak mungkin bisa kauhitung!”

Tiba-tiba aku menggigil mendengarkan kata-kata Kiai Husain. Seolah-olah ada tabrakan pesawat yang paling dahsyat di dalam kepalaku. Seolah-olah ada hujan mata pisau yang menghujam jantungku. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Aku ingin mencabut lidahku sendiri.

“Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri… Barangkali kau akan berusaha meluruskannya, karena kau benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kau tak tak ingin mendengarnya lagi. Tetapi kau tak bisa menghentikan semua itu! Kata-katamu yang telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kendalimu, tak bisa kau bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kau kubur dalam-dalam sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya.”
“Fitnah-fitnah itu telah menjadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada ujungnya. Agama menyebutnya sebagai dosa jariyah. Dosa yang terus berjalan diluar kendali pelaku pertamanya. Maka tentang fitnah-fitnah itu, meskipun aku atau siapapun saja yang kau fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung dari semuanya. Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi. Maka kau tak bisa menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak.”

Tangisku benar-benar pecah. Aku tersungkur di lantai.
 “Astagfirulloh hal-adzhim… Astagfirullohal-adzhim… 
Astagfirulloh hal-adzhim…” 
Aku hanya bisa terus mengulangi istighfar. Dadaku gemuruh. Air mata menderas dari kedua ujung mataku.

“Ajari saya apa saja untuk membunuh fitnah-fitnah itu, Kyai. Ajari saya! Ajari saya! Astagfirulloohal-adzhim…” Aku terus menangis menyesali apa yang telah aku perbuat.

Kyai Husain tertunduk. Beliau tampak meneteskan air matanya.“ Aku telah memaafkanmu setulus hatiku, Nak,” katanya, “Kini, aku hanya bisa mendoakanmu agar Allah mengampunimu, mengampuni kita semua. Kita harus percaya bahwa Allah, dengan kasih sayangnya, adalah zat yang maha terus menerus menerima taubat manusia… Innallooha tawwaabur-rahiim...”

Aku disambar halilintar jutaan megawatt yang mengguncangkan batinku! Aku ingin mengucapkan sejuta atau semiliar istighar untuk semua yang sudah kulakukan! Aku ingin membacakan doa-doa apa saja untuk menghentikan fitnah-fitnah itu!

“Kini kau telah belajar sesuatu,” kata Kyai Husain, setengah berbisik. Pipinya masih basah oleh air mata.

Demikianlah, anakku, fitnah itu kejam. Lebih kejam daripada pembunuhan....

Edited by: @SatyaOo
Kamis, 25 Oktober 2018 0 Comments

Sekali Bertemu, Seumur Hidup Terinspirasi #CoretanOo #4

"Sekali Bertemu, Seumur Hidup Terinspirasi"

Sumber: Mindoverlatte.com

***
Ada masanya, saya lupa ngeliat indikator tanki bensin. Tau-tau motor mogok, jauh dari pom bensin. Tiba-tiba, ada orang baik datang, bantu dorong pakai kaki, sampai ketemu penjual bensin eceran. Saat itu cuma bilang terima kasih. 

Mau balas kebaikan yang sama gimana? Kalau memang ketemunya cuma saat itu aja. Terpikir, kalau nggak dibantu beliau? Kebayang dorong motor belasan KM. Sejak saat itu, tiap kebetulan ketemu orang dengan motor yang mogok, berusaha coba bantu sebisa mungkin. Saya nggak bisa balas kebaikan orang yang pernah bantu saya, tapi saya mencoba meneruskan kebaikan beliau.

***

Ada masanya, saya kehilangan ponsel di jalan. Ternyata ada yang mau bantu saya meminjamkan ponsel dan memberikan pulsanya, agar saya bisa mengabarkan keluarga, baru saja saya dapat musibah. Saat itu cuma bilang terimakasih. 

Mau balas kebaikan yang sama gimana? Kalau memang ketemunya cuma saat itu aja. Kalaupun ketemu, belum tentu dalam keadaan kehilangan ponsel. Sejak saat itu, saya berusaha mengikuti jejak kebaikan beliau. Saya nggak bisa balas kebaikan orang yang pernah bantu saya, tapi saya mencoba meneruskan kebaikan beliau.

***

Ada masanya, saya merepotkan senior-senior, orang-orang yang baru sesaat bertemu, untuk bantu menyelesaikan skripsi saya. 

Saya, nggak mungkin bisa balas kebaikan yang sama kepada mereka, karena mereka jelas-jelas sudah lebih dahulu menyelesaikannya dibanding saya. Tapi kebaikan mereka sungguh membekas. Saya nggak bisa balas kebaikan orang yang pernah bantu saya, tapi saya mencoba meneruskan kebaikan beliau.

***

Seringkali, kebaikan-kebaikan kecil yang pernah menyelamatkan kita di masa-masa sulit, begitu membekas. Saya nggak begitu paham tentang amal jariyah, tapi soal meneruskan kebaikan, saya rasa setiap orang bisa melakukannya. 

Semoga yang kita lakukan terhitung sebagai amal saleh. Minimal sebagai bentuk terima kasih kepada mereka yang pernah membantu kita.

***

9 Januari 2018
@Guswibowo @Mutiiadia @SatyaOo
Sabtu, 20 Oktober 2018 0 Comments

One Way Ticket #CoretanOo #3

“ONE WAY TICKET”
Oleh:  Sandiaga S Uno

Sumber: Indietraveller.co

Perantauan telah menjadi jejak takdir yang saya terima. Jauh sebelum saya lahir, ayah saya Razif Halik Uno meninggalkan tanah kelahiran Gorontalo merantau di kota Bandung. Ibu saya, Mien Uno, setelah menikah dengan ayah ikut pula merantau meninggalkan kota Bandung menuju pedalaman Rumbai yang kaya minyak. Rumbai adalah tanah kelahiran bagi saya dan kakak, Indra Cahya Uno. Sebagaimana ayah dan ibu, tanah kelahiran tidak pernah menjadi tanah tinggal kami. Pada saat saya duduk di Sekolah Dasar, ayah pindah kerja ke Jakarta. Di ibukota, ayah membangun peruntungan  dan pada saat itu saya berpikir petualangan kami telah mencapai kota impian. Saya pun mulai menggantungkan cita-cita di langit ibukota.

Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di Jakarta. Saya tidak kesulitan mendapatkan teman baru, karena rumah kami selalu menjadi tempat berkumpul teman-teman sekolah. Ini dikarenakan rumah kami selalu dekat dengan sekolah. Dalam hal memilih sekolah, ibu punya prinsip bahwa sekolah harus dekat dengan rumah. Dengan itu, beliau tetap bisa mengawasi kami. Selain itu, kegemaran saya akan olahraga bola basket juga membuka pintu pergaulan. Satu lemparan bola seolah mendatangkan sekeranjang teman untuk saya. Hingga jelang lulus dari bangku SMA, saya menikmati kenyamanan  Jakarta dengan segala dinamika masa remaja. Saya pun mulai menapaki tangga meraih impian sederhana. Saya ingin kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, kemudian dengan titel sarjana bekerja di perusahaan bonafit dengan gaji cukup untuk hidup mapan.

Pada saat semua kenyamanan itu menggenggam hidup saya, ayah menyodorkan sebuah tawaran yang tidak mungkin bisa saya tolak. Tawaran itu berupa sebuah tiket untuk berangkat kuliah ke Amerika Serikat. One Way Ticket, tanpa ada tiket untuk kembali. Satu-satunya cara untuk kembali adalah dengan pergi kesana, menyelesaikan studi sebaik mungkin dan hanya peluang kerja lah yang bisa membawa saya balik ke Jakarta. Sulit untuk mendeskripsikan perasaan saya yang campur aduk pada saat itu. Tetapi yang jelas tidak ada lonjakan perasaan gembira. Saya menerima tawaran itu dan episode perantauan dimulai kembali.

Tanpa internet dan penerbangan murah, dunia pada dekade delapan puluhan tampak sangat luas. Amerika dalam bayangan saya adalah wonderland dengan semua keajaiban yang tampak dalam berita dan film. Ditambah lagi dengan cerita dari orang-orang yang pernah kesana tentang kemajuan yang masih menjadi impian di tanah air. Gedung-gedung pencakar langit, hiruk pikuk megapolitan hingga berjuta orang dari beragam ras dan latar belakang dengan kesibukan tiada henti adalah Amerika di layar kaca. Tetapi pada saat saya menginjakkan kaki di sebuah kota bernama Wichita, bayangan itu memudar menjadi sebuah keterasingan. Dulu pada dekade dua puluhan, Wichita dikenal sebagai “Air Capital of The World” karena di kota itu dibangun beberapa pabrik pesawat terbang, tetapi tetap saja jauh dari bayangan saya sebelumnya tentang Amerika. Tidak ada gedung pencakar langit, malam terasa lebih cepat sepi dibanding Jakarta dan tidak ada keramaian beragam ras, bisa dibilang Wichita hanya dihuni oleh orang-orang kulit putih. Tambahan lagi, saya tiba disana pada saat musim dingin baru saja mulai. Kombinasi yang sempurna untuk kenangan Jakarta yang terus menggelayuti pikiran.

Perlahan saya menyadari, rantau yang asing bagaikan kanvas putih yang luas untuk melukis hidup. Keterasingan menyediakan ruang bagi kita untuk memulai segala sesuatu dari nol sebab tempat yang baru tidak menyediakan masa lalu. Walaupun harus melupakan mimpi kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, saya tetap setia pada impian untuk menekuni bidang akuntansi di Wichita State University (WSU). WSU adalah kampus terbesar ketiga di negara bagian Kansas. Sebagian besar mahasiswanya berasal dari daerah sekitar, tidak banyak yang berasal dari negara bagian lain, apalagi luar negeri. Saya tidak bisa berharap banyak menemukan mahasiswa Indonesia lainnya disini.

Dalam keterasingan itu, insting saya untuk survive semakin terasah. Belajar di negeri orang ternyata bagi saya memberikan motivasi berlipat. Bukan untuk membuktikan diri pada siapapun tetapi lebih pada kebutuhan untuk bertahan hidup.Tidak ada pilihan lain tersedia selain menggondol ijazah tepat waktu dengan nilai yang harus memuaskan. Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk menyesuaikan diri dengan ritme kehidupan kampus WSU. Bergelut dengan angka, dari sebuah kewajiban berubah menjadi sesuatu yang menyenangkan. Rutinitas lainnya adalah mendatangi kantor pos yang terdapat di dalam kampus, berkirim dan menunggu kedatangan surat dari tanah air. Berhubungan lewat telepon terasa sulit bagi mahasiswa dengan kantong pas-pasan seperti saya. Tetapi berkirim surat dengan orang tua dan juga dengan pacar yang kemudian jadi istri saya, Nur Asia Uno, membuat saya yang dulu asing dengan dunia tulis menulis menjadi lancar bercerita. Jarak perantauan kembali memberikan bonus untuk saya.

Rutinitas belajar yang benar-benar ditekuni membuat saya tidak punya banyak kesempatan untuk mengembangkan pergaulan lebih luas. Menurut saya, itu adalah pengorbanan yang wajar demi segenggam mimpi bekerja di perusahaan besar demi kehidupan yang mapan. Impian untuk menjadi pengusaha belum ada dalam pikiran saya pada saat itu. Padahal sebenarnya di kampus WSU lah pertama kali secara serius saya mengenal kata “enterpreneurship”. Pada tahun 1988, awal saya kuliah disana, diadakan peletakan batu pertama untuk pembangunan Devlin Hall. Pada tahun 1990, seiring berakhirnya masa studi saya di WSU, bangunan  yang diperuntukkan untuk Center for Enterpreneurship itu selesai dibangun dan berdiri megah di tengah-tengah kampus. Devlin Hall adalah salah satu bangunan kampus pertama di dunia yang diperuntukkan bagi pengembangan wirausaha. Selain itu, di tengah kampus juga berdiri bangunan sederhana yang baru dipindahkan dari Bluff and Kellog Street pada tahun 1986, Pizza Hut Number One. Bangunan itu adalah toko Pizza Hut pertama yang didirikan oleh dua orang mahasiswa WSU pada tahun 1958 yang kemudian menjadi jejaring waralaba yang mendunia. Dan bahkan kelak saya berkesempatan punya kepemilikan dalam jejaring waralaba itu di Indonesia.

twitter.com/SandiUno

Dua tahun tidak terasa sejak ayah menyodorkan one way ticket. Syukur Alhamdulillah, saya tidak sekedar mendapatkan Degree dari W Frank Barton School of Business Wichita State University tetapi juga lengkap dengan predikat summa cum laude. Prestasi akademik di negeri orang itu membuat saya dipanggil pulang kembali ke tanah air, diajak bergabung menjadi Finance and Accounting Officer di Bank Summa. Bank yang dimiliki oleh Edward Soeryadjaya, pada waktu itu merupakan salah satu bank swasta yang tengah tumbuh dengan pesat. Perlahan, impian saya tentang dunia kerja mulai terwujud. Menjadi seorang junior di Bank Summa membuka kesempatan luas bagi saya untuk mengenal dunia perbankan dan keuangan. Saya mengikuti keseluruhan proses yang harus dialami oleh seorang pekerja baru, pelatihan, mendapatkan bimbingan dari senior-senior yang sudah punya nama di dunia perbankan hingga mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tampak kecil dan remeh bagi banyak orang tetapi penting untuk pengembangan diri.

Di tengah gairah baru dunia kerja itu, Bank Summa memberikan kesempatan kepada saya untuk melanjutkan pendidikan Master of Business Administration di George Washington University, (GWU) Washington DC.  Rantau Amerika tidak lagi terasa asing bagi saya. Saya menikmati tugas belajar dari tempat kerja ini. Mimpi indah menyeruak di awang-awang, tentu setelah menyelesaikan pendidikan Master ini saya bisa meniti karier lebih tinggi di Bank Summa. Suasana DC dimana terdapat jauh lebih banyak pemukim Indonesia dibandingkan di Wichita juga membuat saya semakin nyaman. Satu tahun pertama pendidikan di GWU berjalan dengan lancar. Saya juga punya kesempatan untuk terlibat aktif dengan perkumpulan mahasiswa Indonesia di Amerika.

Akhir dari setiap mimpi, baik atau buruk, adalah terbangun dalam kesadaran. Mimpi indah saya pada tahun pertama kuliah di GWU tiba-tiba berhadapan dengan kenyataan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Di tanah air, Bank Summa mengalami kesulitan likuiditas yang berujung pada kasus kredit macet. Om Williem, -William Soeryadjaya, turun tangan mengambil alih kepemilikan Bank Summa hingga kemudian menjaminkan kepemilikan sahamnya di aset paling berharga milik keluarga Soeryadjaya, Astra. Tetapi semua usaha yang dilakukan oleh Om Williem, -yang pada akhirnya kehilangan kepemilikan di Astra, tidak bisa menyelamatkan Bank Summa. Dampaknya bagi saya yang jauh berada di Amerika sungguh sangat terasa. Beasiswa saya terhenti justru di tengah gairah saya ingin segera menyelesaikan program Master ini. Bagi saya saat itu, sungguh tidak etis di tengah badai besar yang tengah dihadapi Bank Summa, untuk menanyakan kelanjutan beasiswa.

Di tahun 1992 itu, saya seolah kembali memegang selembar one way ticket. Mimpi-mimpi indah yang sempat terbang di langit cita-cita, satu per satu pecah bagai gelembung yang tidak berdaya. Perantauan kembali menguji insting saya untuk survive. Untuk menyelesaikan studi ditambah lagi dengan biaya hidup di Amerika, tabungan saya pada saat itu jauh dari cukup. Tidak banyak yang bisa saya simpan dari hasil bekerja selama satu setengah tahun di Bank Summa. Saya merasa pada saat itu, sudah tidak pantas lagi merepotkan orang tua dengan  kesulitan yang saya hadapi. Masalah terhentinya beasiswa ini saya simpan rapat dari orang tua hingga saya berhasil menyelesaikan studi di GWU. Satu-satunya pilihan yang tersedia adalah mencari pekerjaan dan dengan uang dari hasil pekerjaan itu saya bisa terus melanjutkan kuliah.

 Pada saat kehidupan menantang saya untuk bertahan maka pada saat itu saya bersiap untuk melakoni pekerjaan apapun sepanjang halal dan cukup untuk menyelesaikan studi. Bahkan sempat terpikir untuk menjadi tukang cuci piring atau tukang bersih-bersih. Untunglah, dengan prestasi akademik di atas rata-rata pada saat itu, saya bisa melamar pekerjaan menjadi asisten lab di GWU. Pada saat itu saya mendapatkan bayaran US$ 3 perjam. Pekerjaan itu tidak lama saya tekuni, karena kemudian terbuka kesempatan untuk pekerjaan dengan gaji lebih tinggi menjadi Tutor dengan gaji US$ 6 perjam. Bekerja sambil kuliah di negeri orang benar-benar menjadi ujian disiplin hidup. Saya harus pintar-pintar membagi waktu, agar pekerjaan bisa mendukung kuliah yang tengah saya tempuh, bukan sebaliknya. Disini pula saya menyadari pentingnya menetapkan target dan prioritas. Target saya dalam bekerja adalah untuk mendapatkan uang demi menyelesaikan kuliah. Artinya kuliah menjadi prioritas utama yang harus didukung oleh kesungguhan saya dalam bekerja. Puji syukur ke hadirat Allah SWT, saya mampu melaluinya dengan baik. Saya tidak sekedar berhasil menyelesaikan studi di GWU, tetapi kembali lulus dengan predikat summa cum laude.

Usia saya dua puluh tiga tahun ketika menggondol gelar Master of Business Administration dari George Washington University. Dengan usia yang masih muda itu, ada godaan untuk menerima pekerjaan lain di tengah ketidakpastian yang menyelimuti Bank Summa. Mimpi untuk bekerja di perusahaan besar dan hidup mapan masih mungkin saya rangkai kembali. Tetapi sejak kecil saya terbiasa loyal dengan satu hal. Saya loyal dengan satu olahraga, bola basket. Saya loyal dengan satu wanita, dari pacaran hingga menjadi istri saya, Nur Asia Uno. Saya juga loyal dengan bidang finance yang saya tekuni. Dan menurut saya adalah penting untuk loyal pada bank yang telah memberikan saya kesempatan bekerja dan kemudian bahkan untuk melanjutkan studi  Master di Amerika.  Kalau pun karir saya harus berakhir, saya ingin keputusan itu datang dari orang yang mempekerjakan. Saya kembali ke Indonesia, tetap dengan status sebagai karyawan Bank Summa.

Pada tanggal 14 Desember 1992, Bank Summa dilikuidasi oleh Bank Indonesia. Saya kehilangan pekerjaan. Loyalitas buta saya sepertinya kalah telak oleh kenyataan. Tampak di permukaan memang seperti itu. Tetapi sebenarnya yang terjadi, itulah masa-masa yang penting dan berharga dalam hidup saya. Saya punya kesempatan untuk melihat lebih dekat bagaimana Om Willem, mentor bisnis yang sangat saya kagumi, mengelola krisis. Dari Om Willem saya belajar, bahwa bisnis lebih dari sekedar masalah untung rugi tetapi tanggung jawab. Begitu banyak yang dikorbankan oleh Om Willem demi mengembalikan uang nasabah di Bank Summa, hingga akhirnya Astra yang dibangun dan dibesarkannya berpindah kepemilikan. Dalam jangka panjang, krisis yang dialami oleh tempat saya bekerja ini memberikan pelajaran yang jauh lebih besar pada saat nantinya saya menangani perusahaan-perusahaan termasuk perbankan yang tengah “sakit”. Seringkali saya berpikir, bila pada titik krisis di tahun 1992 itu saya memutuskan meninggalkan Bank Summa begitu saja, tentu saya tidak akan pernah bisa berjalan sejauh ini di dunia bisnis. Itulah pelajaran dari pohon loyalitas yang buahnya saya petik di masa depan.

Kehidupan terus berjalan. Jarum jam tidak pernah menunggu kita untuk bergerak. Saya memutuskan untuk kembali mengadu peruntungan di perantauan. One Way Ticket membawa saya ke negara tetangga, Singapura. Setia dengan bidang yang saya tekuni, keuangan, saya bekerja sebagai finance and invesment analist di Seapower Asia Invesment Limited. Setahun kemudian, karirnya saya menanjak ketika bergabung dengan MP Holding Limited Group sebagai Investment Manager. Pada tahun 1995, ketika menginjak usia dua puluh enam tahun, saya bergabung dengan NTI Resources Ltd, Kanada sebagai Executive Vice President.  Pekerjaan ini membawa saya kembali ke tanah Amerika Utara, tepatnya Calgary Canada. Di usia yang masih muda itu, saya sudah bisa menghasilkan pendapatan dollar “enam digit”. Apabila kesuksesan diukur dari kecepatan menghasilkan uang, maka pada usia dua puluh enam tahun saya telah mengukir kesuksesan. Tetapi masalahnya, roda kehidupan saya tidak pernah berhenti. Malah roda itu berputar lebih cepat dibandingkan dengan roda kehidupan banyak orang.

Dengan semua capaian yang saya dapatkan, pada saat itu saya merasa sudah bisa untuk membeli “tiket kembali” dari one way ticket yang dulu diberikan oleh ayah. Mimpi-mimpi masa remaja tentang kehidupan yang mapan telah menjadi kenyataan. Realitas itu semakin lengkap ketika saya memutuskan untuk menikahi kekasih saya sejak masa remaja, Nur Asia Uno pada tahun 1996. Satu tahun kemudian lahirlah putri pertama kami Anneesha Atheera Uno. Tetapi justru di tengah kesempurnaan hidup ini, ujian hidup yang sangat besar menunggu saya. Pada awal tahun 1997, krisis ekonomi mulai merambat dan perlahan melilit beberapa negara Asia. Dimulai dari terpukulnya mata uang Baht Thailand akibat aksi spekulasi besar-besaran, krisis ini kemudian menjalar ke negara-negara Asia lainnya. Perusahaan tempat saya bekerja benar-benar mengalami pukulan hebat akibat krisis ini. Sejak pertengahan tahun 1997, bisa dikatakan saya tidak pernah lagi menerima gaji dari tempat saya bekerja walaupun masih menjalankan tanggung jawab sebagai salah satu eksekutif perusahaan. Tanpa gaji, mungkin saya masih bisa bernafas dengan mengandalkan tabungan yang ada. Sayangnya, mungkin karena kepercayaan diri yang terlalu tinggi karena berhasil mengelola dana investasi orang lain, saya menginvestasikan sebagian besar tabungan di pasar modal yang kemudian ambruk.

Saya pulang ke Indonesia nyaris tanpa membawa apa-apa. Bahkan di Jakarta saya belum sempat menyiapkan sebuah rumah untuk keluarga sehingga harus menumpang di rumah orang tua. Sempat terlintas dalam pikiran saya, betapa kejamnya kehidupan ini, menerbangkan dan kemudian menghempaskan saya dalam tempo yang begitu cepat. Tetapi lambat laun saya mulai bisa menerima ujian hidup itu dengan keikhlasan. Hingga kemudian saya mengubah cara pandang terhadap ujian yang datang ini. Betapa murah hatinya kehidupan, memberikan pelajaran nyaris lengkap dalam tempo singkat kepada saya. Dalam tempo hampir sepuluh tahun sejak ayah memberikan one way ticket, saya telah melewati begitu banyak hal. Bertahan dalam keterasingan di Wichita, bergumul dengan mimpi yang nyaris sirna, menikmati impian masa remaja hingga sekarang saya seolah memulai segala sesuatunya kembali dari nol. Bila saya tidak pernah jatuh dengan keras maka saya tidak akan pernah belajar untuk bisa berdiri dengan kokoh.

Di tengah badai krisis ekonomi yang menerjang tanah air, mustahil bagi saya untuk menemukan peluang kerja baru. Sementara saya tidak lagi hidup sendiri. Ada istri dan anak yang masih bayi yang harus saya hidupi. Saya tidak mungkin menghabiskan waktu duduk menunggu badai krisis ini berlalu. Satu-satunya pilihan untuk bertahan pada waktu itu adalah dengan keluar dan berjuang di tengah-tengah badai. Pada saat semua pintu pekerjaan tertutup, saya harus menciptakan lapangan pekerjaan untuk diri saya sendiri. Menjadi pengusaha dengan cara berwirausaha tidak pernah terlintas di benak saya sebelumnya. Tetapi saya tidak punya pilihan lain untuk bertahan pada waktu itu. Berbeda dengan sebagian besar pengusaha muda lainnya, dalam darah saya tidak mengalir darah pengusaha. Ayah saya adalah seorang karyawan perusahaan minyak, sementara Ibu seorang pendidik. Dalam lingkaran keluarga dekat, juga tidak seorang pun yang menjalani kehidupan sebagai pengusaha. Dari seorang karyawan menjadi pengusaha seperti perantauan baru bagi saya. Dunia wirausaha menjadi kanvas putih yang akan saya lukis dalam rentang usia berikutnya.

Seringkali dalam berbagai kesempatan saya mengatakan, bahwa saya menjadi seorang pengusaha adalah karena kecelakaan. Bila saya boleh jujur, alasan yang lebih pantas sebenarnya, saya menjadi pengusaha demi bisa memenuhi kebutuhan susu anak saya. Pada saat memulai usaha bersama sahabat saya sejak SMA Rosan  Perkasa Roslani, kami lebih mengandalkan insting untuk bertahan hidup ketimbang perencanaan bisnis yang komprehensif. Sesuai dengan bidang yang saya tekuni, perusahaan yang kami dirikan pada tahun 1997 itu, Recapital, awalnya bergerak dalam jasa penasihat keuangan. Kantor kami luasnya tidak lebih dari lima puluh meter persegi dengan karpet berwarna merah muda. Pernah suatu hari saya berniat meminjam uang kepada Rosan untuk kebutuhan keluarga sehari-hari sebesar tiga juta rupiah, ternyata Rosan cuma punya lima puluh ribu rupiah. Untuk bertemu dan rapat dengan klien terpaksa kami menggunakan mobil Suzuki Katana pinjaman dari orang tua. Saya coba membuka kontak kembali dengan klien-klien dari luar negeri yang dulu saya dapatkan ketika bekerja di luar. Sementara di dalam negeri, pergaulan ibu saya yang luas, membuka banyak pintu bagi kami walaupun itu belum berarti kesepakatan bisnis. Semua perjuangan itu perlahan membuahkan hasil ketika kami mendapatkan klien-klien pertama kami, Ramako Group dan Jawa Pos Group.

Saya memantapkan diri untuk menjadi pengusaha. Bukan semata-mata karena Recapital mulai menunjukkan hasil tetapi karena saya mulai percaya bahwa saya pulang ke tanah air bukan sebagai orang yang gagal. Justru sebaliknya, saya pulang sebagai orang yang berhasil ditempa oleh waktu dan nasib. Pengalaman adalah modal penting dalam dunia usaha, tidak bisa didapatkan di bangku sekolah dan juga tidak bisa didapatkan dengan uang. Pengalaman berharga hanya bisa didapatkan sepanjang kita hidup dalam prinsip-prinsip yang secara utuh diterapkan dalam menghadapi berbagai keadaan. Prinsip hidup yang kuat tidak sekedar tumbuh dari sikap melainkan kebiasaan. Disiplin, loyalitas, target, prioritas serta keikhlasan, Alhamdulillah, sikap itu mengakar jadi kebiasaan hidup saya. Inilah nilai-nilai yang banyak membantu saya di masa-masa sulit. Tabungan dalam bentuk harta kekayaan suatu saat mungkin habis atau berkurang, tetapi tabungan pengalaman senantiasa akan bertambah sepanjang hayat dikandung badan.

Recapital bukanlah akhir dari perantauan saya. Perjalanan hidup mengajarkan, dunia tidak pernah memberi ruang yang cukup bagi saya untuk berhenti dan sekedar menikmati kenyamanan. Dia selalu datang menggoda lewat tantangan dan ujian. Pada tahun 1998, ketika mengunjungi mentor saya Om Willem di kantornya jalan Teluk Betung, saya bertemu dengan salah satu putra Beliau Edwin Soeryadjaya melalui kolega lama dari NTI, Andreas Tjahjadi. Dari pertemuan tidak sengaja itu, Edwin mengajak saya untuk terlibat membantu sebuah transaksi bisnis yang tengah dilakukannya. Ternyata pekerjaan itu jauh lebih sulit dari yang saya pikirkan karena di tengah krisis kepercayaan dunia terhadap Indonesia kami harus meyakinkan investor asing untuk kembali menanamkan modalnya disini. Butuh waktu enam bulan untuk menyelesaikan transaksi ini. 2 Desember 1998 adalah tanggal yang tidak mungkin saya lupakan, karena bertepatan dengan kelahiran putri kedua saya Amyra Atheefa Uno  di rumah sakit Medistra, kami berhasil melakukan transaksi. Itulah inisiasi awal untuk kemudian saya memutuskan secara penuh bergabung bersama Edwin di bawah bendera Saratoga.

Dua orang putri saya ternyata membawa jejak peruntungan sendiri-sendiri. Recapital rejeki Atheera dan kemudian Saratoga rejeki Amyra. Alhamdulillah, sekarang kebagiaan keluarga kami bertambah lengkap dengan hadirnya Sulaiman Saladdin Uno, anak ketiga saya yang baru lahir. Saya tidak mau menduga-duga, jejak seperti apa yang akan dibawa oleh Sulaiman. Saya ingin hidup tetap menjadi kado penuh misteri yang indah pada waktunya nanti. Sekarang Recapital dan Saratoga telah menjelma menjadi salah satu kekuatan swasta nasional. Bukan licin jalan beraspal yang kami lalui untuk sampai seperti sekarang ini. Tetapi belukar penuh duri dimana kata penolakan akrab di telinga. Saya tidak pernah menghapus kata gagal dari kamus hidup saya. Sebab saya percaya bahwa kegagalan adalah komplemen serasi dari kesuksesan. Recapital di awal berdirinya, seringkali gagal mendapatkan pinjaman dari Bank. Bahkan di tengah kemajuannya, beberapa kali kami juga gagal dalam transaksi penting. Saratoga di awal tahun saya bergabung malah mendapatkan ujian yang menguras emosi kami. Betapa tidak, pada tahun 1999 kami memiliki kesempatan untuk  mengelola kembali “the dream Company”, Astra Group , melalui pelelangan BPPN, tetapi kami gagal. Rendezvous Edwin dan saya yang memiliki keterikatan dengan Astra tidak pernah terjadi. Keberhasilan tidak lebih dari persekutuan positif kita dengan kegagalan.

One Way Ticket. Saya percaya bahwa kehidupan hanya menyediakan satu tiket pergi tanpa kembali. Tidak ada tempat untuk kembali, yang bisa kita lakukan hanyalah membuka lembaran baru dengan belajar dari pengalaman di masa silam. Karena hanya ada satu tiket pada setiap kita, kenapa kita harus menumpang pada mimpi orang lain. Itulah yang mendasari gagasan saya tentang kewirausahaan. Dimana kita tidak hanya membuat diri sendiri berdaya tetapi juga saling memberdayakan sesama manusia. Kita merantau atau berdiaspora untuk sepetak tanah yang dijanjikan. Luasnya hanya kurang lebih  dua meter persegi. Satu tiket yang kita miliki sekarang lah yang menentukan apakah di atas permukaan tanah itu akan tumbuh semak belukar atau sebuah nisan sederhana yang senantiasa mengundang mata. Ingatlah, bumi itu bulat, kita hanya butuh satu tiket untuk bisa mengelilinginya..

Edited by: @SatyaOo
Minggu, 14 Oktober 2018 0 Comments

Syahdunya Allah Menjawab Doa #CoretanOo #2

"Syahdunya Allah Menjawab Doa"

Sumber: Dream.co.id

Betapa syahdu cara Allah menjawab doa-doa, yang seringnya berupa kejutan yang mungkin tidak pernah kita andaikan sebelumnya. Pengandaian kita di dalam kepala hanya mampu memikirkan satu dua skenario saja, padahal kisah hidup kita tak terbatas skenarionya. Allah, Dialah penulis skenario terbaik, yang tentu mengetahui bagaimana mendidik kita dengan sedih dan menumbuhkan kita dengan bahagia. Lalu, mengapa enggan berdoa?

Betapa syahdu cara Allah menukar sedih menjadi bahagia, yang seringnya dirasa tak masuk di logika-logika kita. Ketika ruang-ruang hati seolah menyempit sedemikian rupa dan seluruh pintu tertutup hingga seolah tak ada yang bisa terbuka, Allah kabarkan bahwa yang terlihat ternyata tak sebagaimana mestinya. Melalui cara-Nya, dibuatlah kita memahami sekali lagi bahwa tak ada sedih dan bahagia selamanya, semua dipergulirkannya bergantian agar kita belajar, bertumbuh, lalu berdaya.

Betapa syahdu cara Allah berkata iya, yang seringnya bisa beraneka ragam bentuknya: iya boleh sekarang, iya boleh tapi nanti, atau iya tapi kamu perlu meninggalkan dan melepaskan genggaman terhadap keinginan itu sebab kamu layak untuk yang lebih baik. Sayangnya, kita seringkali cepat-cepat merasa tertolak, padahal kita belum memohonkan apa-apa kepada-Nya dalam sujud dan doa-doa kita. Enggan rendah hati untuk meminta, tapi kecewa karena merasa Allah menolak, melarang, dan tidak memberikan kebaikan-Nya untuk kita. Bisakah kita menjelaskan dimana letak kebenaran logika-logika kita yang keliru itu?

Betapa syahdu cara Allah membesarkan hati kita, yang seringnya menyapa kita di ujung sabar, saat kita hendak menyerah padahal belum waktunya. Lelah berikhtiar, kehabisan energi untuk mengupayakan, tak bisa lagi berjuang; itulah kata akal kepada hati, padahal boleh jadi pemberhentian dari segalanya itu tinggal sedikit lagi. Lalu, selepas sabar yang terus diupayakan, Allah memberi, bahkan lebih banyak dari yang pernah kita mohonkan. 

Allah, sebab berdoa adalah menundukkan hati untuk menerima setiap syahdunya cara-Mu dalam menjawabnya, maka tundukkanlah hati kami agar tidak angkuh, tidak memaksakan kehendak, dan tetap bergantung pada harap-harap kepada-Mu.

Allah, betapa ternyata kedatangan seorang sahabat pagi itu dan sebaris pesan yang terlihat di layar kala itu adalah cara-Mu menjawab tanyaku. Cepat sekali, secepat menunggu waktu antara sepertiga malam dan terbitnya matahari. Maa syaa Allah. Semoga Engkau mudahkan, agar hatiku selalu terpaut untuk melangitkan doa-doa kepada-Mu, meski terkadang aku mengatakannya dengan malu-malu :”)

#contemplation #novieocktavia #drafty

Sumber: Novie dan Munida
Edited by: @SatyaOo
Sabtu, 13 Oktober 2018 0 Comments

Give & Give #CoretanOo #1

GIVE AND GIVE
Sumber: Wasatha.com

Ada seorang petani mempunyai seorang tetangga yang berprofesi sebagai pemburu dan mempunyai anjing-anjing galak.

Anjing-anjing itu sering melompati pagar dan mengejar domba-domba petani.

Petani itu meminta tetangganya untuk menjaga anjing-anjingnya, tapi ia tidak mau peduli.

Suatu hari anjing-anjing itu melompati pagar dan menyerang beberapa domba, sehingga terluka parah.

Petani itu merasa tak sabar, dan memutuskan untuk pergi ke kota untuk berkonsultasi pada seorang hakim.

Hakim itu mendengarkan cerita petani itu dan berkata;
"Saya bisa saja menghukum pemburu itu, dia untuk merantai dan mengurung anjing-anjingnya, tapi Anda akan kehilangan seorang sahabat dan mendapatkan seorang musuh. Mana yang kau inginkan, sahabat atau musuh yang jadi tetanggamu?”

Petani itu menjawab bahwa ia lebih suka mempunyai seorang Sahabat.

"Baik, saya akan menawari anda sebuah solusi yang mana anda harus menjaga domba-domba anda, supaya tetap aman dan ini akan membuat tetangga anda tetap sebagai sahabat”.

Mendengar solusi pak hakim, petani itu setuju. Ketika sampai di rumah, petani itu segera melaksanakan solusi pak hakim.

Dia mengambil tiga domba terbaiknya dan menghadiahkannya kepada 3 anak tetangganya itu, yang mana mereka menerima dengan sukacita dan mulai bermain dengan domba-domba tersebut.

Untuk menjaga mainan baru anaknya, si pemburu itu mengkerangkeng anjing pemburunya. Sejak saat itu anjing-anjing itu tidak pernah mengganggu domba-domba pak tani.

Sebagai rasa terima kasih atas kedermawanan petani kepada anak-anaknya, pemburu itu sering membagi hasil buruan kepada petani.

Sebagai balasannya, petani mengirimkan daging domba dan keju buatannya.

Dalam waktu singkat tetangga itu menjadi Sahabat yang baik.

🔹Jika Anda berkumpul dengan serigala, Anda akan belajar melolong.

🔹Tapi jika Anda bergaul dengan Rajawali, Anda akan belajar cara terbang mencapai ketinggian yang luar biasa.

Kenyataan yang sederhana tetapi benar, bahwa Anda menjadi seperti orang yang bergaul dekat dengan Anda.

🔹Persahabatan tidak ada sangkut pautnya dengan harta, jabatan dan popularitas.

Persahabatan yang di dapat dari uang, pangkat dan ketenaran bukan persahabatan sejati, melainkan hanya pergaulan dangkal yang penuh kepalsuan, yang egois, materialis, munafik dan penuh kebohongan.

Persahabatan sejati lahir dari kasih sayang, ketulusan, kepercayaan, kejujuran, kesetiaan dan kebersamaan dan hanya berharap ridho Allah

Itu sebabnya persahabatan itu indah, tidak dapat di nilai dengan harta benda, tidak dapat di perjual-belikan.

Sebuah ungkapan :
CARA TERBAIK UNTUK MENGALAHKAN DAN MEMPENGARUHI ORANG ADALAH DENGAN KEBAJIKAN

"GIVE AND GIVE, NOT TAKE AND GIVE"

Semoga kita menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat.
Robbana Taqobbal Minna
Ya Allah terimalah dari kami (amalan kami), aamiin.

Sumber: Bowo Inspiranessia (@Inspiranessiadc)
Edited by: @SatyaOo
 
;