Jumat, 10 Maret 2017

Sepenggal Kisah Mahasiswa yang Turun ke Jalan


“Wahai kalian yang rindu kemenangan, wahai kalian yang turun ke jalan, demi mempersembahkan jiwa dan raga untuk negeri tercinta…”

Itulah sepotong lirik lagu Totalitas Perjuangan yang kerap kali dikumandangkan para mahasiswa. Dan inilah cerita mereka, para mahasiswa yang turun ke jalan.
Riuh rendah aksi 121 yang melibatkan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia (SI) memang sudah lebih dari sebulan berlalu. Aksi yang digelar di 19 lokasi di Indonesia ini mengundang sejumlah respon, ada yang pro, ada pula yang kontra. Namun satu hal yang menarik perhatian publik adalah bergeloranya semangat mahasiswa untuk beramai-ramai turun ke jalan
Selalu ada berbagai macam persepsi mengenai terminologi ‘aksi mahasiswa’. Bahkan, stigma negatif pun tak sedikit didulang dari aksi yang dihelat oleh aktivis-aktivis kampus ini. Aksi anarkis? Aksi tak berdasar? Biarlah, penilaian tetap penilaian yang tidak bisa diubah. Masing-masing kalangan punya kacamata yang berbeda. Lalu bagaimana para aktivis kampus membeberkan pengalaman mereka menjadi bagian dari aksi mahasiswa?
“Pada dasarnya, aksi mahasiswa dapat berupa aksi horizontal dan aksi vertikal,” begitu Satya Aruna, Wakil Ketua BEM Faperta periode 2015-2016, membuka pemaparannya tentang aksi mahasiswa.
Menurut pengetahuannya, aksi horizontal mahasiswa mengarah kepada pencerdasan yang dilakukan di lingkungan internal kampus atau kepada masyarakat umum, sedangkan aksi vertikal barulah yang disebut aksi mahasiswa turun ke jalan dimana mereka berkomunikasi langsung dengan pemerintah.
“Yang selama ini sering mahasiswa lakukan adalah berupa aksi horizontal misalnya, di Faperta ada aksi perayaan Hari Tani yang dilaksanakan oleh mahasiswa dan untuk mahasiswa. Contoh aksi horizontal lainnya, yaitu aksi-aksi yang sering dilakukan mahasiswa di sekitar Gerlam,” jelasnya lebih lanjut.
Tetapi menurut Satya, dengan banyaknya aksi horizontal mahasiswa bukan berarti aksi vertikal dilupakan. Pada aksi vertikal, mahasiswa mengekspresikan dirinya sebagai penyambung lidah rakyat, sebagai agen perubahan, dan sebagai insan akademik yang tak asal berseru. Terlepas dari berbagai pemberitaan yang dilimpahkan pada aksi ini, toh mahasiswa tidak sekedar turun ke jalan tanpa dasar yang jelas. “Selalu ada kajian dari berbagai keilmuan sebelum mahasiswa menginisiasi aksi. Mahasiswa sudah jauh-jauh hari mengamati dinamika yang terjadi di pemerintahan sebelum melakukan aksi,” Satya menjelaskan.
Mengenai teknisnya, Satya mengaku bahwa aksi mahasiswa selalu menyisakan rasa haru dan bangga dalam dirinya. “Saat melakukan aksi, para mahasiswi berdiri di tengah sementara para mahasiswa berdiri melingkar di sekeliling mahasiswi untuk meminimalisir kekacauan barisan dan adanya oknum provokator yang menyusup di barisan mahasiswa. Lalu kami menyanyikan lagu-lagu yang membakar semangat, seperti Totalitas Perjuangan, Buruh Tani, dan Darah Juang,” kenang Satya. “Saat itulah kami merasa bahwa kami tidak hanya menyampaikan aspirasi masyarakat, tetapi kami juga mengabdi pada bangsa dan negara.”
Satya mengaku bahwa huru-hara mahasiswa yang diberitakan media seringkali didalangi oleh kalangan non mahasiswa. “Oknum provokator pasti ada, makanya kami para mahasiswa yang melakukan aksi diwajibkan memakai jas almamater masing-masing sebagai identitas. Di luar itu, bisa saja dia adalah orang luar,” ungkapnya.
Pernyataan Satya didukung pula oleh Faris Elzo, Menteri Departemen Aksi dan Propaganda BEM Kema Unpad. Pengalamannya turun ke jalan bersama ratusan mahasiswa lainnya membuat Faris sangat paham medan. Diceritakannya tentang perbedaan aksi mahasiswa yang ditampilkan media dan kondisi di lapangan.
“Sering ada pemberitaan bahwa aksi mahasiswa itu anarkis. Padahal kalau boleh membela diri, seharusnya media tidak hanya menayangkan huru-haranya saja, coba ditelisik lagi aksi apa yang benar-benar dilakukan mahasiswa,”papar Faris tatkala mengenang aksi turun ke jalan yang sudah ia ikuti berkali-kali. “Pernah saya melihat dengan mata kepala saya sendiri ada oknum yang menyusup di barisan mahasiswa dan melempari polisi dengan batu. Siapa yang dituduh sebagai pelaku? Tentu saja mahasiswa. Padahal itu adalah ulah oknum yang sengaja memanaskan situasi antara mahasiswa dan polisi,” lanjutnya.
Faris membeberkan bahwa aksi mahasiswa bukan sekedar berteriak dan merangsek masuk demi bertemu pihak yang diinginkan. “Kesel kalau liat media cuma menayangkan goyang-goyangin pagar doang, padahal itu nggak berarti apa-apa dari keseluruhan aksi kami. Bukan itu poinnya,” guraunya.
Aksi mahasiswa biasanya berupa teatrikal atau pembacaan puisi. Tuntutan pun sudah jelas dan sudah melalui kajian sebelumnya. Kalau dilihat dari kacamata mahasiswa yang kenyang mengikuti aksi, stigma negatif muncul karena mereka tidak pernah terlibat aksi sebelumnya atau mereka berlawanan sikap dengan para mahasiswa.
Menurut Faris lagi, aksi turun ke jalan adalah pilihan terakhir yang dilakukan mahasiswa dalam menyikapi sebuah kebijakan yang menggelitik. Selalu ada mediasi sebelum aksi, itu prinsipnya. Aksi dilakukan ketika mediasi sudah tidak mempan. “Mahasiswa diajarkan untuk tidak menempatkan aksi turun ke jalan sebagai bentuk pemecahan masalah yang mutlak. Kalau aksi belum mendapat respon dari pihak yang bersangkutan, kami akan terus follow up sampai ada perwakilan mahasiswa yang dipanggil untuk menghadap pihak yang bersangkutan,” tegasnya.
Faris menambahkan bahwa ada peraturan yang harus ditaati mahasiswa saat melakukan aksi, diantaranya yaitu tidak boleh merusak fasilitas umum, menjadikan polisi sebagai rekan, dan saling menjaga kepercayaan. Mendapatkan berbagai reaksi dari masyarakat, terutama reaksi negatif adalah bentuk evaluasi mahasiswa untuk mengeksekusi aksi lebih baik lagi.
“Turun ke jalan bukan sebuah keharusan. Yang menjadi keharusan adalah bersuara,” tutupnya.
Aksi turun ke jalan memang bukan larangan, tetapi bukan pula satu-satunya pilihan. Sikap kritis bisa diluapkan dalam bentuk apa saja asal jelas dan diulik sampai akarnya. Satu hal yang perlu diingat, sampaikan pendapat dengan cara yang beretika. Hidup mahasiswa! (LG/Andi Hana)

Editor: Fahri Hassi

Sumber:  http://generapersma.com/2017/03/sepenggal-kisah-mahasiswa-yang-turun-ke-jalan/

0 Comments:

 
;