“Wahai kalian yang rindu
kemenangan, wahai kalian yang turun ke jalan, demi mempersembahkan jiwa
dan raga untuk negeri tercinta…”
Itulah sepotong lirik lagu Totalitas
Perjuangan yang kerap kali dikumandangkan para mahasiswa. Dan inilah
cerita mereka, para mahasiswa yang turun ke jalan.
Riuh rendah aksi 121 yang melibatkan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)
Seluruh Indonesia (SI) memang sudah lebih dari sebulan berlalu. Aksi
yang digelar di 19 lokasi di Indonesia ini mengundang sejumlah respon,
ada yang pro, ada pula yang kontra. Namun satu hal yang menarik
perhatian publik adalah bergeloranya semangat mahasiswa untuk
beramai-ramai turun ke jalan
Selalu ada berbagai macam persepsi mengenai terminologi ‘aksi
mahasiswa’. Bahkan, stigma negatif pun tak sedikit didulang dari aksi
yang dihelat oleh aktivis-aktivis kampus ini. Aksi anarkis? Aksi tak
berdasar? Biarlah, penilaian tetap penilaian yang tidak bisa diubah.
Masing-masing kalangan punya kacamata yang berbeda. Lalu bagaimana para
aktivis kampus membeberkan pengalaman mereka menjadi bagian dari aksi
mahasiswa?
“Pada dasarnya, aksi mahasiswa dapat berupa aksi horizontal dan aksi
vertikal,” begitu Satya Aruna, Wakil Ketua BEM Faperta periode
2015-2016, membuka pemaparannya tentang aksi mahasiswa.
Menurut pengetahuannya, aksi horizontal mahasiswa mengarah kepada
pencerdasan yang dilakukan di lingkungan internal kampus atau kepada masyarakat umum, sedangkan
aksi vertikal barulah yang disebut aksi mahasiswa turun ke jalan dimana
mereka berkomunikasi langsung dengan pemerintah.
“Yang selama ini sering mahasiswa lakukan adalah berupa aksi
horizontal misalnya, di Faperta ada aksi perayaan Hari Tani yang
dilaksanakan oleh mahasiswa dan untuk mahasiswa. Contoh aksi horizontal
lainnya, yaitu aksi-aksi yang sering dilakukan mahasiswa di sekitar
Gerlam,” jelasnya lebih lanjut.
Tetapi menurut Satya, dengan banyaknya aksi horizontal mahasiswa
bukan berarti aksi vertikal dilupakan. Pada aksi vertikal, mahasiswa
mengekspresikan dirinya sebagai penyambung lidah rakyat, sebagai agen
perubahan, dan sebagai insan akademik yang tak asal berseru. Terlepas
dari berbagai pemberitaan yang dilimpahkan pada aksi ini, toh mahasiswa
tidak sekedar turun ke jalan tanpa dasar yang jelas. “Selalu ada kajian
dari berbagai keilmuan sebelum mahasiswa menginisiasi aksi. Mahasiswa
sudah jauh-jauh hari mengamati dinamika yang terjadi di pemerintahan
sebelum melakukan aksi,” Satya menjelaskan.
Mengenai teknisnya, Satya mengaku bahwa aksi mahasiswa selalu
menyisakan rasa haru dan bangga dalam dirinya. “Saat melakukan aksi,
para mahasiswi berdiri di tengah sementara para mahasiswa berdiri
melingkar di sekeliling mahasiswi untuk meminimalisir kekacauan barisan
dan adanya oknum provokator yang menyusup di barisan mahasiswa. Lalu
kami menyanyikan lagu-lagu yang membakar semangat, seperti Totalitas
Perjuangan, Buruh Tani, dan Darah Juang,” kenang Satya. “Saat itulah
kami merasa bahwa kami tidak hanya menyampaikan aspirasi masyarakat,
tetapi kami juga mengabdi pada bangsa dan negara.”
Satya mengaku bahwa huru-hara mahasiswa yang diberitakan media
seringkali didalangi oleh kalangan non mahasiswa. “Oknum provokator
pasti ada, makanya kami para mahasiswa yang melakukan aksi diwajibkan
memakai jas almamater masing-masing sebagai identitas. Di luar itu, bisa
saja dia adalah orang luar,” ungkapnya.
Pernyataan Satya didukung pula oleh Faris Elzo, Menteri Departemen
Aksi dan Propaganda BEM Kema Unpad. Pengalamannya turun ke jalan bersama
ratusan mahasiswa lainnya membuat Faris sangat paham medan.
Diceritakannya tentang perbedaan aksi mahasiswa yang ditampilkan media
dan kondisi di lapangan.
“Sering ada pemberitaan bahwa aksi mahasiswa itu anarkis. Padahal
kalau boleh membela diri, seharusnya media tidak hanya menayangkan
huru-haranya saja, coba ditelisik lagi aksi apa yang benar-benar
dilakukan mahasiswa,”papar Faris tatkala mengenang aksi turun ke jalan
yang sudah ia ikuti berkali-kali. “Pernah saya melihat dengan mata
kepala saya sendiri ada oknum yang menyusup di barisan mahasiswa dan
melempari polisi dengan batu. Siapa yang dituduh sebagai pelaku? Tentu
saja mahasiswa. Padahal itu adalah ulah oknum yang sengaja memanaskan
situasi antara mahasiswa dan polisi,” lanjutnya.
Faris membeberkan bahwa aksi mahasiswa bukan sekedar berteriak dan merangsek masuk demi bertemu pihak yang diinginkan. “Kesel kalau liat media cuma menayangkan goyang-goyangin pagar doang, padahal itu nggak berarti apa-apa dari keseluruhan aksi kami. Bukan itu poinnya,” guraunya.
Aksi mahasiswa biasanya berupa teatrikal atau pembacaan puisi.
Tuntutan pun sudah jelas dan sudah melalui kajian sebelumnya. Kalau
dilihat dari kacamata mahasiswa yang kenyang mengikuti aksi, stigma
negatif muncul karena mereka tidak pernah terlibat aksi sebelumnya atau
mereka berlawanan sikap dengan para mahasiswa.
Menurut Faris lagi, aksi turun ke jalan adalah pilihan terakhir yang
dilakukan mahasiswa dalam menyikapi sebuah kebijakan yang menggelitik.
Selalu ada mediasi sebelum aksi, itu prinsipnya. Aksi dilakukan ketika
mediasi sudah tidak mempan. “Mahasiswa diajarkan untuk tidak menempatkan
aksi turun ke jalan sebagai bentuk pemecahan masalah yang mutlak. Kalau
aksi belum mendapat respon dari pihak yang bersangkutan, kami akan
terus follow up sampai ada perwakilan mahasiswa yang dipanggil untuk menghadap pihak yang bersangkutan,” tegasnya.
Faris menambahkan bahwa ada peraturan yang harus ditaati mahasiswa
saat melakukan aksi, diantaranya yaitu tidak boleh merusak fasilitas
umum, menjadikan polisi sebagai rekan, dan saling menjaga kepercayaan.
Mendapatkan berbagai reaksi dari masyarakat, terutama reaksi negatif
adalah bentuk evaluasi mahasiswa untuk mengeksekusi aksi lebih baik
lagi.
“Turun ke jalan bukan sebuah keharusan. Yang menjadi keharusan adalah bersuara,” tutupnya.
Aksi turun ke jalan memang bukan larangan, tetapi bukan pula
satu-satunya pilihan. Sikap kritis bisa diluapkan dalam bentuk apa saja
asal jelas dan diulik sampai akarnya. Satu hal yang perlu diingat,
sampaikan pendapat dengan cara yang beretika. Hidup mahasiswa! (LG/Andi
Hana)
Editor: Fahri Hassi
Sumber: http://generapersma.com/2017/03/sepenggal-kisah-mahasiswa-yang-turun-ke-jalan/